“Desember Tanpa Pelukan Terakhir”
***Kututup bulan November ini dengan rasa syukur. Bukan karena semuanya berjalan mudah, tapi karena aku mampu melewatinya—hari demi hari, minggu demi minggu, sampai akhirnya bulan itu pamit perlahan. Banyak hal yang tertinggal di belakang: tawa, rencana, bahkan beberapa luka yang masih sempat mengintip dari balik ingatan. Namun tetap… aku bersyukur. Karena Tuhan memberiku kekuatan untuk terus berjalan.
Dan kini, hari pertama Desember datang. Bulan terakhir dalam kalender, tapi terasa seperti lembar baru yang kosong. Seperti seseorang yang duduk sendirian di stasiun, tidak tahu kereta mana yang harus dinaiki. Rasanya hening sekali. Hening… karena biasanya pagi ini selalu ada satu pesan:
“Bro, udah masuk bulan baru. Jangan lupa mimpi kita belum selesai.”
Namun hari ini… tidak ada.
Temanku, sahabat sejatiku, orang yang tahu isi kepalaku tanpa harus aku jelaskan… pergi mendahuluiku. Bukan karena menyerah, tapi karena Tuhan memanggilnya di tempat yang paling mulia—Mekah. Saat semua manusia datang untuk meminta ampun dan berharap hidup baru, ia justru pulang menemui-Nya selamanya. Dan sejak hari itu, langit tak pernah lagi terlihat sama.
Aku masih ingat, ia selalu berkata,
“Kalau suatu hari aku meninggal, aku ingin meninggal saat sujud. Itu cara paling indah buat pamit.”
Aku selalu tertawa mendengarnya. Kupikir itu hanya gurauan. Tapi nyatanya… itulah yang terjadi. Ia pergi saat banyak manusia sedang berdoa, sedang bertakbir. Ia meninggalkan dunia… dengan cara yang mungkin membuat para malaikat tersenyum bangga.
Desember tiba, tapi tanpa dirinya semuanya terasa sunyi. Tidak ada lagi rencana akhir tahun, tidak ada perjalanan mendadak, tidak ada panggilan suara tiba-tiba di tengah malam hanya untuk membicarakan hal sepele. Yang tersisa hanya kenangan… dan satu fakta yang sulit diterima:
kita tidak akan pernah bertemu lagi di dunia ini.
Kadang aku menatap ponselku lama sekali. Menunggu notifikasi yang takkan datang. Kadang aku berjalan melewati tempat-tempat biasa kita singgahi, berharap ada suara yang memanggil namaku dari belakang. Namun yang terdengar hanya angin. Mungkin itu caranya berpamitan.
Hari pertama Desember ini aku belajar, bahwa perpisahan paling menyakitkan bukanlah yang penuh air mata—tapi yang datang diam-diam, tanpa izin, lalu menetap di dada tanpa bisa diusir. Aku tidak menangis hari ini. Aku hanya duduk, menatap langit, dan berbisik pelan:
“Terima kasih telah menjadi bagian penting dalam hidupku. Aku akan meneruskan langkah ini, sampai suatu hari kita bertemu… di tempat yang lebih baik dari dunia ini.”
Selamat datang Desember.
Bulan baru, tapi dengan satu kursi kosong yang takkan pernah tergantikan.###
