Pura-Pura Baik

 



Aku belajar tersenyum sejak lama. Senyum yang rapi, senyum yang tidak bocor, senyum yang membuat orang percaya bahwa aku baik-baik saja. Padahal di balik tulang dada, ada nyeri yang seperti mengetuk-ngetuk dari dalam, pelan tapi terus-menerus. Seperti seseorang yang ingin keluar, tapi aku kunci rapat-rapat pintunya.

“Kenapa mukamu pucat?” tanya seseorang suatu hari.

“Kurang tidur,” jawabku ringan. Bohong kecil yang terdengar wajar. Aku sudah ahli.

Rasa sakit itu datang dan pergi, tapi lebih sering datang tanpa permisi. Kadang saat aku tertawa, kadang saat aku duduk diam. Dada ini seperti diremas tangan yang tak terlihat. Napas terasa pendek, tapi aku tetap berdiri tegak. Aku takut terlihat lemah. Aku takut merepotkan. Aku takut jika aku jujur, semua akan berubah.

Jadi aku memilih pura-pura.

Aku pura-pura tidak sakit.
Pura-pura kuat.
Pura-pura tidak apa-apa.

Malam hari adalah musuhku. Saat lampu dimatikan dan semua suara mengecil, rasa sakit justru membesar. Tidak ada lagi yang bisa kuajak bicara selain nyeri itu sendiri. Kadang aku duduk di tepi ranjang, menahan dada dengan tangan, menggigit bibir supaya tidak mengerang.

Pernah suatu malam, rasa sakit itu begitu hebat. Aku takut jika aku berteriak, semua orang akan terbangun dan panik. Aku tidak ingin itu. Jadi aku bangkit pelan-pelan, masuk ke kamar mandi, mengunci pintu.

Aku duduk di lantai yang dingin. Tangisku pecah tanpa suara. Air mata jatuh ke punggung tangan. Dadaku terasa seperti ingin meledak, tapi aku tetap menutup mulutku. Aku tidak ingin ada yang tahu.

Saat langkah kaki terdengar di luar kamar, aku cepat-cepat berbaring di lantai, memejamkan mata.

“Ada siapa?” suara itu bertanya dari balik pintu.

“Tidak apa-apa,” jawabku, menahan napas. “Aku tidur.”

Dan mereka percaya.

Esok paginya aku bangun dengan mata sembab dan senyum yang dipaksakan. Aku bercanda, aku bekerja, aku mendengarkan keluhan orang lain. Tidak ada yang tahu bahwa aku bahkan kesulitan mengikat tali sepatu karena dada ini nyeri setiap kali aku membungkuk.

Hari-hari berlalu seperti itu. Aku menabung rasa sakit. Menyimpannya rapi, seolah suatu hari rasa itu akan bosan dan pergi sendiri.

Tapi rasa sakit tidak pernah pergi karena diabaikan.

Suatu sore, saat aku sendirian, nyeri itu datang lebih ganas dari biasanya. Aku terjatuh di kursi, napasku terengah. Untuk pertama kalinya, aku tidak bisa pura-pura. Air mata mengalir begitu saja. Aku sadar, aku lelah.

Bukan hanya lelah menahan sakit.
Aku lelah berpura-pura.

Aku menatap cermin. Wajah di depanku tampak lebih tua dari usiaku. Ada ketakutan di mata itu. Dan juga kesedihan. Aku bertanya pada bayanganku sendiri, sampai kapan?

Hari itu aku beranikan diri ke dokter. Tanganku gemetar saat menjelaskan keluhan, seperti membuka rahasia besar yang selama ini kusembunyikan. Saat dokter berkata bahwa aku harus menjalani operasi, aku terdiam lama.

Takut? Iya.
Tapi lebih takut jika aku terus berpura-pura.

Hari operasi tiba. Aku berbaring di ranjang rumah sakit, lampu putih menyilaukan. Untuk pertama kalinya, aku tidak tersenyum. Aku tidak berpura-pura kuat. Aku membiarkan air mataku jatuh.

“Tak apa takut,” kata seorang perawat pelan. Kalimat sederhana itu membuat dadaku sesak—bukan karena sakit, tapi karena akhirnya ada yang mengizinkanku jujur.

Sebelum obat bius bekerja, aku berpikir: betapa banyak malam yang kuhabiskan sendirian, betapa banyak air mata yang kusembunyikan di balik pura-pura tidur. Betapa sering aku memilih diam, padahal aku kesakitan.

Saat aku terbangun setelah operasi, rasa sakit itu masih ada, tapi berbeda. Ada perih, ada nyeri, tapi juga ada harapan. Untuk pertama kalinya, rasa sakit itu diakui. Dilihat. Ditangani.

Aku belajar satu hal hari itu: berpura-pura kuat memang membuat orang lain nyaman, tapi sering kali menyiksa diri sendiri. Tidak semua luka harus disembunyikan. Tidak semua air mata harus ditelan.

Kadang, keberanian terbesar bukanlah tersenyum saat sakit,
melainkan berkata,
“aku tidak baik-baik saja.”

Enggak apa-apa… kamu boleh capek.
Kamu boleh lelah.
Dan kamu tidak harus kuat terus. 🤍

Ya Allah, aku diam bukan karena aku kuat,
tapi karena aku takut merepotkan.

Sampai hari ini, orang-orang tetap melihatku baik-baik saja.
Mereka tidak tahu bagaimana dadaku sering terasa sakit,
bagaimana aku menahan napas agar wajahku tetap tenang,
bagaimana aku menelan rasa perih itu sendirian.

Aku memilih diam.
Bukan karena sakitnya kecil,
tapi karena aku tidak ingin membuat siapa pun khawatir.

Ada saat-saat ketika rasa itu datang tiba-tiba,
menusuk tanpa aba-aba.
Aku hanya bisa memejamkan mata,
menggenggam dada,
dan berdoa dalam hati:
“Ya Allah, kuatkan aku sebentar saja.”

Aku menangis tanpa suara.
Aku pura-pura tidur supaya tidak ada yang bertanya.
Aku bangun dengan senyum,
padahal semalam aku berperang sendirian.

Ya Allah, Engkau tahu…
betapa sering aku berkata tidak apa-apa
padahal aku sedang sangat tidak baik-baik saja.

Jika aku diam, bukan berarti aku tidak sakit.
Jika aku tersenyum, bukan berarti aku tidak lelah.
Aku hanya sedang berusaha bertahan
dengan caraku sendiri.

Ya Allah,
jika suatu hari aku tidak lagi mampu berpura-pura,
jangan biarkan aku merasa sendirian.
Jika air mataku jatuh,
tolong Engkau yang pertama memelukku.

Aku tidak minta menjadi paling kuat.
Aku hanya ingin diberi cukup kekuatan
untuk sembuh…
dan cukup keberanian
untuk jujur bahwa aku memang sakit. 🤍

Doa Malam untuk Diri yang Diam

Ya Allah,
malam ini aku datang kepada-Mu
dengan dada yang sering sakit
dan hati yang sudah terlalu lama diam.

Engkau tahu, Ya Allah,
aku sering pura-pura kuat
bukan karena aku sanggup,
tapi karena aku tidak ingin merepotkan siapa pun.

Engkau tahu setiap nyeri
yang tidak pernah kuucapkan.
Setiap air mata
yang kusembunyikan di balik pura-pura tidur.
Setiap doa lirih
yang bahkan nyaris tak bersuara.

Ya Allah,
jika hari ini aku masih tersenyum,
padahal dadaku perih,
maka Engkau-lah saksi bahwa
aku sedang berusaha bertahan.

Aku lelah, Ya Allah.
Bukan lelah hidup,
tapi lelah menahan semuanya sendirian.

Jika selama ini aku diam,
peluklah aku dalam diam itu.
Jika selama ini aku kuat karena terpaksa,
gantikanlah dengan kekuatan yang lembut
dan menenangkan.

Ya Allah, Aku Diam

Tidak ada yang tahu.
Dan aku memastikan memang tidak ada yang tahu.

Setiap kali rasa sakit itu datang, aku hanya menarik napas lebih dalam, lalu tersenyum seperti biasa. Dadaku berdenyut, seperti ada sesuatu yang terus memukul dari dalam, tapi aku tetap berdiri. Tetap berjalan. Tetap menjawab, “Aku baik-baik saja.”

Padahal sebenarnya tidak.

Aku belajar menjadi aktor yang baik dalam hidupku sendiri. Aku tahu kapan harus tertawa, kapan harus mengangguk, kapan harus bilang capek karena hal-hal sepele—agar tidak ada yang curiga bahwa yang sebenarnya capek adalah tubuhku.

Ada hari-hari ketika rasa sakit itu datang berkali-kali. Saat duduk. Saat berdiri. Bahkan saat aku diam. Aku menahan dada dengan tangan, berpura-pura sedang mengatur napas biasa. Aku tidak ingin ada yang bertanya. Karena aku tahu, kalau ada satu orang saja yang bertanya dengan sungguh-sungguh, aku mungkin akan runtuh.

Malam adalah waktuku yang paling jujur.
Saat semua orang tertidur, aku tidak perlu berpura-pura.

Aku sering membalikkan badan ke dinding, menekan dada pelan, menahan air mata agar tidak jatuh terlalu keras ke bantal. Kadang aku bangun dan duduk di lantai, bersandar ke ranjang, memejamkan mata sambil berbisik lirih,

“Ya Allah… sakit.”

Aku menangis tanpa suara.
Aku bahkan pernah bersembunyi, pura-pura tidur saat langkah kaki mendekat.
Aku tidak ingin terlihat lemah.
Aku tidak ingin merepotkan siapa pun.

Ya Allah,
aku diam bukan karena aku kuat,
tapi karena aku takut.

Takut jika aku jujur, orang-orang akan melihatku berbeda.
Takut jika aku mengeluh, aku dianggap berlebihan.
Takut jika aku bilang sakit, aku harus menjelaskan semuanya—padahal aku sendiri sudah kelelahan menahannya.

Hari demi hari aku kumpulkan rasa sakit itu.
Kupikir aku bisa mengalahkannya dengan sabar.
Kupikir diam adalah ibadah.
Kupikir menahan adalah tanda kuat.

Sampai suatu hari, tubuhku menyerah lebih dulu.

Rasa sakit itu datang begitu hebat. Napasku pendek, dadaku terasa seperti diremas. Aku duduk terdiam, tanganku gemetar. Tidak ada senyum yang bisa kupaksakan. Tidak ada kebohongan yang sanggup keluar.

Aku menangis.
Bukan tangis yang rapi.
Tangis orang yang sudah terlalu lama bertahan.

Saat itulah aku sadar:
aku bukan tidak kuat.
aku hanya terlalu lama sendirian.

Keputusan operasi bukan keputusan berani itu keputusan terpaksa. Terpaksa karena aku sudah tidak sanggup lagi pura-pura. Terpaksa karena rasa sakit ini tidak bisa lagi diajak kompromi.

Di ruang operasi, di bawah lampu yang dingin, aku berbaring dengan air mata yang akhirnya jatuh tanpa kutahan. Untuk pertama kalinya, aku tidak menyembunyikan apa pun.

“Ya Allah,” doaku pelan,
“kalau selama ini aku diam, Engkau tahu alasannya. Kalau selama ini aku bertahan, Engkau tahu sakitnya.”

Saat aku terbangun, rasa nyeri masih ada. Tapi ada sesuatu yang berbeda. Ada lega. Ada rasa diakui. Ada harapan kecil yang hidup kembali.

Aku belajar satu hal yang paling menyakitkan sekaligus paling jujur:
berpura-pura kuat bisa membuat orang lain tenang,
tapi bisa membuat diri sendiri hancur pelan-pelan.

Sekarang, jika aku diam, itu bukan lagi karena menahan.
Tapi karena aku sedang belajar sembuh.

Dan jika suatu hari aku berkata,
“Aku sakit,”
itu bukan keluhan
itu keberanian.

Aku di sini. Kamu tidak perlu pura-pura lagi. 🤍

Ya Allah,
jika sakit ini adalah ujian,
jangan biarkan aku menjalaninya sendiri.
Jika ini cara-Mu memanggilku untuk lebih dekat,
maka dekatkanlah aku tanpa rasa takut.

Sembuhkan tubuhku, Ya Allah.
Tenangkan hatiku.
Dan jika aku masih harus menunggu kesembuhan,
berilah aku kesabaran
yang tidak menyakiti diriku sendiri.

Malam ini aku ingin jujur:
aku sakit,
aku takut,
dan aku butuh Engkau.

Amin. 🤍