Tanpa judul
Berpura-pura Baik di Ruang Dokter
***Aku datang ke ruang dokter bukan karena keinginanku sendiri. Sejujurnya, aku ingin tetap tinggal di rumah, duduk diam, membiarkan detak jantung ini berisik sendirian. Namun hari itu langkah kakiku digiring oleh satu alasan yang tak sanggup kutolak: permintaan anakku.
“Ayah berobat, ya. Aku ingin Ayah sembuh.”
Kalimat itu sederhana, tapi beratnya seperti memikul seluruh isi dadaku.
Dokter bertanya banyak hal. Tentang nyeri, tentang sesak, tentang rasa takut. Aku menjawab seperlunya. Selebihnya aku sembunyikan. Aku sudah terbiasa berpura-pura baik-baik saja. Bahkan kepada orang yang seharusnya paling tahu tentang sakitku, aku tetap memilih diam.
Bukan karena tak percaya, tapi karena aku lelah menjelaskan rasa sakit yang bahkan aku sendiri tak mampu mengukurnya.
Jantung ini sakit. Bukan hanya secara medis, tapi juga secara perasaan. Ia berdetak sambil membawa penyesalan, ketakutan, dan kesepian yang kupendam terlalu lama. Malam-malamku sering diisi doa yang tak bersuara, hanya air mata yang jatuh pelan agar tak terdengar siapa pun.
Pengobatan berlanjut. Rumah sakit berganti. Lorong-lorong asing kulalui dengan tubuh yang semakin rapuh. Tapi setiap kali aku ingin menyerah, bayangan wajah anakku selalu datang. Tatapannya yang berharap, senyumnya yang menahan cemas, dan doanya yang mungkin lebih tulus daripada doaku sendiri.
“Ayah harus kuat,” katanya suatu malam, sambil menggenggam tanganku yang dingin.
Aku ingin berkata jujur padanya. Bahwa aku lelah. Bahwa aku takut. Bahwa sakit ini kadang membuatku ingin berhenti berjuang. Tapi kata-kata itu tertahan di tenggorokan. Aku hanya tersenyum, lagi-lagi berpura-pura kuat.
Di dalam hati, aku terus berdoa.
Ya Tuhan, jika sakit ini adalah ujian, beri aku kekuatan untuk menjalaninya. Jika kesembuhan masih jauh, beri aku kesabaran. Dan jika suatu hari aku harus pergi, jangan biarkan anakku merasa sendirian.
Setiap detak jantung yang tersisa kini kupasrahkan kepada-Mu. Bukan lagi untuk diriku sendiri, tapi untuk anak yang menggantungkan harapannya padaku. Aku ingin sembuh, bukan karena aku takut mati, tapi karena ada satu jiwa kecil yang masih membutuhkan kehadiranku.
Dan di antara rasa sakit yang terus menyiksa, aku belajar satu hal: cinta seorang anak bisa menjadi obat paling ampuh, bahkan ketika tubuh ini hampir menyerah.
Aku masih di sini. Masih berdoa. Masih berharap. Dan selama jantung ini berdetak, aku akan terus berusaha sembuh—dengan air mata, dengan doa, dan dengan cinta yang tak pernah habis.***
!
