Rumah di Tepi Sungai Cimande
***Hujan kembali turun sore itu, seperti pengulangan dari kisah lama yang belum selesai. Salsabila berdiri di depan jendela, memandangi titik-titik air yang membasahi kaca. Tangannya memeluk tubuhnya sendiri, seolah ingin menyembunyikan gemetar yang tak pernah benar-benar pergi.
Sudah tiga tahun sejak banjir pertama menyusup ke rumahnya. Sejak malam itu, setiap suara hujan adalah suara luka. Tak ada yang berubah, meski alat berat pernah lewat, meski petugas datang, meski sungai dikeruk dan saluran air diperlebar. Sungai Cimande tetap saja meluap. Seperti dendam yang tak mau reda.
“Hari ini hujannya deras,,” ujar adiknya, Dinda, dari ruang tengah. Bocah kelas empat itu baru pulang sekolah. Sepatunya basah, seragamnya kusut. Tapi wajahnya tak berubah. Ketakutan tak semestinya menetap di wajah anak sekecil itu.
“Iya, ayo siap-siap,” jawab Salsabila cepat. Ia mengamati lantai rumah yang sedikit demi sedikit mulai tergenang. Air sudah masuk lagi. Tidak banyak, belum. Tapi ia tahu, hanya butuh sepuluh menit bagi genangan itu menjadi selutut.
Ia berjalan ke dapur, mengangkat tabung gas ke kursi, memindahkan beras ke rak gantung, menyimpan galon ke meja. Ia hapal urutannya. Seperti ritual yang terus diulang. Setiap musim hujan, rumah ini berubah jadi perahu kecil yang harus terus diselamatkan dari tenggelam.
Langit semakin gelap. Di kejauhan, suara sungai mulai terdengar lebih keras. Sungai Cimande bukan lagi aliran air, tapi gemuruh ketakutan. Seperti binatang buas yang lapar, menunggu waktu menerkam.
“Kenapa kita nggak pindah aja, Kak?” tanya Dinda pelan.
Salsabila terdiam. Pertanyaan itu sudah sering muncul, bahkan dari mulutnya sendiri. Tapi ke mana mereka harus pergi?. Di sinilah kenangan dikumpulkan, sekaligus ketakutan ditanamkan.
“Belum bisa, Din. Kita bertahan dulu ya,” bisiknya, menyeka mata.
Pukul enam sore, air setinggi mata kaki. Warga lain sudah mulai mengevakuasi barang, beberapa menyumpal pintu rumah dengan karung pasir. Tapi malam itu tak ada bantuan datang. Tak ada suara sirene, tak ada lampu darurat. Hanya cahaya lilin dan denting air yang jatuh ke lantai.
Salsabila duduk di atas tangga, memeluk Dinda yang sudah tertidur dalam pelukannya. Di luar, air terus naik. Hujan belum berhenti. Langit seperti lupa bahwa di bawahnya ada orang-orang kecil yang hanya ingin bertahan hidup.
Di benaknya, ia terbayang wajah-wajah petugas yang pernah berkunjung, janji-janji yang pernah dilontarkan: “Kami akan cari solusi,” “Sungai sudah aman,” “Pengerukan selesai.” Tapi nyatanya, air tetap datang.
Saat malam benar-benar larut, air menyentuh anak tangga pertama. Salsabila menatap gelapnya ruang tamu yang kini berubah jadi kolam. Air tak berisik, tapi ia membawa sunyi yang menyesakkan.
“Rumah ini mungkin bukan tempat aman lagi,” pikirnya. Tapi ia tetap diam, sebab kepergian bukan pilihan semudah itu. Dan sungai itu, entah kenapa, seperti tahu betul cara membuat seseorang merasa kalah.
Di luar, hujan masih turun. Di dalam, gadis itu masih bertahan. Dengan air mata yang tak lagi bisa dibedakan dari air hujan yang merembes di dinding.
Dan malam itu, Cimande kembali menggenangi rumah. Tapi yang lebih menyakitkan dari lantai yang basah, adalah hati yang makin lelah. (***)