***Dulu, aku pikir cinta itu seperti lagu di radio berputar indah, menyentuh hati, lalu selesai dalam tiga menit. Tapi itu sebelum aku bertemu Eli. Sejak Eli, aku tahu bahwa ada cinta yang tak punya intro dan tak pernah benar-benar selesai. Hanya menggantung, seperti siaran yang tiba-tiba diputus di tengah malam.
Aku, Hari. Bukan laki-laki yang tampan. Tapi entah kenapa, banyak perempuan menyukaiku. Mungkin karena suaraku saat siaran di radio dulu, atau mungkin karena aku tahu caranya membuat orang merasa diperhatikan. Tapi aku tahu, dalam keramaian itu, hanya satu yang membuatku gugup seperti anak kecil: Eli.
Dia sudah kuliah ketika aku masih berseragam abu-abu. Usianya terpaut dua tahun. Tapi aku tak pernah peduli. Saat dia duduk diam di warung seberang sekolah, membuka laptopnya sambil menyeruput kopi, aku tahu… itulah rumah yang sebenarnya. Rumah yang hanya bisa kulihat dari seberang jalan.
Kami berteman. Aneh ya, hanya berteman. Dia ramah, kadang menggoda, kadang memarahi tapi perhatian sekali. Tapi aku tahu, di antara canda itu, aku menyimpan harapan yang tak berani disebutkan. Aku terlalu muda, terlalu biasa, terlalu takut.
Sampai akhirnya, kabar itu datang: Eli akan menikah. Pilihan orang tuanya. Seorang pria mapan, dari keluarga yang “terhormat”. Bukan anak radio yang tugas malam dan suka menyelinap ke studio sendirian.
Malam sebelum pernikahannya, aku datang ke rumahnya. Tidak untuk menggagalkan, tidak untuk membuat keributan. Hanya berdiri di balik pohon mangga, menatap lampu-lampu yang temaram. Aku ingin melihat wajahnya untuk terakhir kalinya sebagai Eli… bukan sebagai “Ibu Eli”.
Tapi aku lupa, Eli selalu peka.
Dia tahu aku di sana.
Dan dia tetap menikah.
Setelah malam itu, aku pergi. Kuliah di kota lain, kerja jadi jurnalis, hidup berpindah-pindah, tapi tidak pernah benar-benar meninggalkan apa yang pernah aku simpan. Di setiap artikel yang kutulis, ada jejak Eli. Dalam setiap siaran yang pernah kuisi, ada bayang suaranya yang diam-diam aku rindu.
Waktu berlalu.
Luka-luka mengering, tapi bekasnya tak pernah hilang. Aku akhirnya menikah.
Dan pada usia yang ke-52, aku bertemu dia lagi. Di reuni sekolah. Rambutnya sudah sebagian putih. Senyumnya tetap hangat. Matanya… masih sama, tajam tapi lembut.
Kami duduk lama. Dia sudah sendiri. Lelaki yang dulu menikahinya telah memilih pergi.
Dan akhirnya, aku berani bicara.
“Dulu aku cinta sama kamu, El. Sampai hari ini pun… mungkin masih.”
Eli menatapku lama. “Aku tahu, Hari. Selalu tahu.”
Aku ingin menangis. Tapi usia mengajarkanku untuk menahan.
Sebelum kami berpisah malam itu, aku memberinya amplop.
“Kalau sempat, bacalah. Itu surat yang kutulis malam kamu menikah. Tapi tak pernah sempat kukirim.”
Eli membacanya di dalam mobil. Dan saat air matanya jatuh, surat itu tak lagi jadi surat.
Itu jadi pelukan yang tak pernah sampai. Jadi bisikan di tengah malam. Jadi “aku mencintaimu” yang terlambat tiga belas tahun.
Dan saat dia membaca kalimat terakhir,
“Kalau waktu bisa aku putar, aku akan tetap jatuh cinta padamu, Eli. Bahkan jika akhirnya tetap seperti initak pernah jadi apa-apa.”
Eli tahu…
Cinta itu nyata.
Meski tak pernah punya nama.
TAMAT.***