Kenangan di Bangku Taman
Setiap sore, selepas kuliah, Hari selalu menunggu di taman kecil dekat kampus. Di tangannya selalu ada setangkai bunga liar berwarna ungu. Murah, bahkan nyaris tak berharga, tapi bagi Eli, bunga itu selalu istimewa.
“Kenapa sih kamu bawain bunga ini terus?” tanya Eli sambil tersenyum.
Hari menatapnya, suaranya tenang, “Karena aku nggak pernah bosan lihat senyummu setelah nerima.”
Hari-hari mereka penuh tawa, penuh rencana masa depan. Hari ingin membangun usaha, Eli bercita-cita menjadi guru. Mereka pernah berjanji, apapun yang terjadi, akan tetap saling menggenggam.
Tapi janji terkadang tak sekuat kenyataan.
Setelah lulus, Eli diterima mengajar jauh di kota lain. Hari tetap di kampung, sibuk dengan usahanya yang tak selalu mulus. Jarak mulai merenggangkan mereka. Pesan yang dulu nyaris tiap jam, kini berubah jadi seminggu sekali. Telepon lebih sering diakhiri dengan hening, bukan tawa.
“Aku kangen kita yang dulu,” ucap Eli suatu malam.
Hari menarik napas panjang. “Aku juga, Li. Tapi aku harus berjuang dulu. Semua ini buat masa depan kita.”
Eli diam. Hatinya lelah, tapi ia tetap bertahan… hingga akhirnya, ia tak lagi sanggup.
Satu malam, Eli mengirim pesan panjang dengan air mata menetes di setiap kata:
“Hari, aku tetap sayang, tapi kita nggak lagi berjalan di jalan yang sama. Aku nggak mau kamu terus terikat janji yang sulit kita tepati. Semoga kamu bahagia, meski bukan sama aku.”
Hari membaca pesan itu berkali-kali. Tangannya gemetar, matanya panas. Ia ingin membalas, tapi tak ada kata yang keluar. Malam itu ia hanya duduk sendiri, menatap layar, membiarkan air mata mengalir.
Waktu berjalan. Luka itu perlahan ditutupi kesibukan, tapi tidak pernah benar-benar sembuh.
Hingga suatu sore, bertahun-tahun kemudian, kabar itu datang. Eli menikah. Foto-foto pernikahannya tersebar di media sosial: ia tampak cantik dengan gaun putih, tersenyum bahagia di samping pria yang bukan dirinya.
Hari menatap layar ponselnya lama sekali. Senyum Eli masih sama, tapi bukan lagi untuknya.
Malam itu, tanpa sadar, ia kembali ke taman kecil tempat dulu mereka biasa duduk. Bangku kayu itu masih ada, bunga liar ungu masih tumbuh di pinggir jalan. Hari memetik satu, menggenggamnya erat, lalu berbisik lirih pada dirinya sendiri,
“Seandainya waktu bisa diulang… aku nggak akan pernah melepasmu, Li.”
Air matanya jatuh. Bangku itu tetap kosong. Hanya kenangan yang menemani.
Dan di sanalah, Hari akhirnya mengerti cinta besar tak selalu berakhir bersama. Kadang, ia hanya tinggal sebagai luka yang tak pernah benar-benar sembuh. (***)